Editorial Sulut News
Thursday 18 February 2021, Thursday, February 18, 2021 WIB
Last Updated 2021-02-18T17:01:08Z
Nasional

GMNI Dukung Kapolri Berantas Mafia Tanah

Dewan Pimpinan Pusat GMNI Muhammad Ageng Dendy Setiawan


ESN, Jakarta - Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, berkomitmen untuk memberantas mafia tanah di Indonesia.  Komitmen tersebut mendapat dukungan dari Sekretaris Jenderal (Sekjend) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Muhammad Ageng Dendy Setiawan.

Selain didukung, kata Dendy, hal itu juga perlu dikawal. Ia menuturkan, GMNI siap bergerak bersama untuk membela, dan membongkar mafia tanah di Indonesia.

“Kalau memang komitmennya begitu, kita perlu mendukung. Karena persoalan tanah di Indonesia dari dulu tidak pernah tuntas. Selalu aja ada masalah yang berkaitan dengan agraria,” tuturnya melalui keterangan tertulisnya. Kamis(18/02/2021).

Ia pun mendesak agar pihak yang berwenang, seperti Kepolisian dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), untuk memantau persoalan tanah dari hulu hingga ke hilir.

“Ya dimulai dari kemudahan mengurus sertifikat tanah, dan kepemilikannya. Karena kalau di daerah-daerah, banyak tanah yang belum bersertifikat," tuturnya.

"Sementara masyarakat, banyak yang belum paham bagaimana cara mengurus sertifikat kepemilikan. Sehingga, ini menjadi peluang bagi para mafia untuk main serobot,” paparnya menambahkan.

Selain itu, Dendy juga menyinggung persoalan agraria di tanah air, yang mana menurut dia, hanya menyentuh bagian luar saja. Bukan tanpa alasan, baginya, pembahasan tentang agraria hanya berkutat pada legalitas aset dan sertfiikasi, serta nominal penggantian tanah. 

“Bisa dilihat, jika ada konflik agraria yang berkaitan antara masyarakat dengan korporat, selesai dengan urusan ganti rugi saja. Sedangkan nilai-nilai tanah sebagai sumber penghidupan, budaya, bisa ditukar dengan persoalan nominal saja. Padahal kan tidak begitu,” kata Dendy.

Bahkan, kata Dendy, ketimpangan penguasaan tanah antara masyarakat dengan koorporasi tidak pernah dibahas. Ia berujar, rusak dan hilangnya tanah, hutan, sumber mata air, hingga ruang lingkup dan budaya masyarakat, seakan selesai dengan pemenuhan ganti rugi.

“Sedangkan jika memang mau diukur dengan nominal saja, kerusakan yang ditimbulkan dari korporasi, nilainya jauh lebih besar dari sejumlah nominal ganti rugi itu,” ujarnya. (*/)