Editorial Sulut News
Sunday 19 July 2015, Sunday, July 19, 2015 WIB
Last Updated 2019-08-23T03:30:59Z
RELIGI

Tragedi Oc Kaligis, akibat ingkar janjinya pada Tuhan?

ESN - Otto Cornelis Kaligis atau O.C Kaligis, siapakah yang tidak kenal nama besar ini? Dia adalah salah satu pengacara yang paling senior, paling kawakan, paling tenar dan sekaligus paling kontroversial di negeri ini.

Dari kantor pengacaranya yang pertama kali didirikan pada 9 September 1977 di sebuah ruko di kompleks pertokoan Glodok Plaza, Jakarta, O.C Kaligis bukan hanya berubah menjadi salah satu pengacara besar yang paling disegani lawan, maupun kawannya, serta punya banyak koneksi termasuk dengan pejabat-pejabat tinggi setingkat menteri, ia juga menghasilkan banyak karyawannya yang kemudian menjadi pengacara-pengacara paling hebat, pejabat tinggi negara, akademisi dan sebagainya yang juga berkualitas level tertinggi. Sebut saja Amir Syamsuddin mantan Menteri Hukum dan HAM di era Presiden SBY, Hamdan Zoelva mantan Hakim dan Ketua Mahkamah Konstitusi, Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, dan pengacara-pengacara top, seperti Hotman Paris Hutapea, dan Juniver Girsang.

Saat buku biografinya yang berjudul “Otto Cornelis Kaligis a Man with Million Surprises” yang ditulis oleh Teguh Esha dan Donna Sita Indria diterbitkan Penerbit Gramedia (2013) banyak pula tokoh-tokoh besar memberi kata pengantar dan kesan-kesan tentang Kaligis, yang semuanya memuji kehebatannya dari beberapa aspek, guru dan pengacara yang sangat hebat.

Di antaranya, mantan Presiden B.J. Habibie, Karni Ilyas (host “Indonesia Lawyer Club,” TV One), Nono Anwar Makarim (pengacara), Hamdan Zoelva (mantan hakim Mahkamah Konstitusi), dan Indriyanto Seno Adji, pengacara senior yang kini menjabat sebagai salah satu Wakil Ketua KPK.

Tetapi, saat berada di puncak tertinggi kariernya selama 38 tahun, dan di usianya yang sudah senja itulah, hari Selasa, 14 Juli 2015, tiba-tiba saja semuanya berubah sangat drastis dalam hitungan jam. KPK menyatakan O.C. Kaligis, yang biasa juga disapa dengan sebutan Otje, OCK, OC, dan Pak Kaligis,  sebagai tersangka, kemudian menahannya sebagai tahanan dengan dugaan terlibat dalam kasus suap kepada ketua dan hakim PTUN Medan.

Adegan tragis pun itu tampaklah saat seusai diperiksa KPK selama sekitar lima jam Kaligis keluar dengan mengenakan seragam tahanan KPK berwarna oranye, dikawakl para penyidik KPK, dijebloskan ke rumah tahanan KPK cabang Pomdam Guntur, Jakarta.

Pada Kamis, 9 Juli 2015, penyidik KPK melancarkan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro, Hakim Amir Fauzi dan Hakim Dermawan Ginting, Panitera Sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan dan seorang pengacara yang bernama M Yagari Bhastara Guntur alias Gerry dari kantor pengacara O.C. Kaligis. KPK menemukan uang sebanyak 15.000 Dollar Amerika Serikat dan 5.000 Dollar Singapura, yang diduga berasal dari Gerry sebagai uang suap kepada Ketua PTUN Medan dan dua hakim  dan seorang panitera PTUN Medan itu. Dari hasil pemeriksaan penyidik KPK terhadap mereka diketahui bahwa uang itu merupakan bagian dari komitmen uang suap sebesar 30.000 Dollas AS.

Dari pengacara Gerry-lah KPK melakukan pengusutan sampai pada kesimpulan ada dugaan keterlibatan langsung O.C. Kaligis dalam kasus suap tersebut. Selain Kaligis, KPK juga sudah memanggil Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho untuk diperiksa sebagai saksi pada 13 Juli lalu, tetapi yang bersangkutan mangkir. Ia yang juga diduga terlibat, baru akan diperiksa lagi setelah Lebaran, 22 Juli 2015.

Dugaan tindak pidana korupsi tersebut berkaitan dengan gugatan yang dilakukan oleh mantan kepala Biro Keuangan Pemprov Sumatera Utara Ahmad Fuad Lubis ke PTUN Medan.

Maret 2015, Fuad dipanggil kejaksaan setempat untuk diperiksa terkait dugaan penyelewengan dana bantuan sosial Pemprov Sumatera Utara 2012-2014. Fuad hendak diperiksa karena ia pada periode itu adalah Ketua Bendahara Umum (BUD) Pemprov Sumatera Utara. Namun Fuad melakukan perlawanan dengan menggunakan jasa dari kantor pengacara O.C Kaligis.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, PTUN berhak menilai apakah aparat sipil negara melakukan penyalahgunaan wewenang atau tidak. Dalam putusannya, hakim menyatakan permintaan keterangan oleh jaksa kepada Fuad Lubis ada unsur penyalahgunaan kewenangan.

 

Namun dari prestasi KPK selama ini, fakta berbicara, — dengan pengecualian pada kasus Budi Gunawan yang serba ganjil itu – KPK tidak pernah salah dan kalah dalam semua kasus korupsi yang ditanganinya. Tentu kasus ini hampir pasti bukan suatu pengecualiannya.

Sebenarnya 13 tahun yang lalu, ia sudah pernah berjanji kepada Tuhan untuk mundur, berhenti sebagai pengacara aktif, untuk mengabdi sisa hidupnya kepada Tuhan dalam wujud menjalankan aktifitas sosial yang masih berkaitan dengan keahliannya juga, yaitu sebagai guru besar di berbagai perguruan tinggi ternama di seluruh Indonesia, penulis buku, dan kegiatan sosial lainnya.

Kesaksiannya tentang panggilan nuraninya untuk berhenti sebagai pengacara aktif disebutkan secara cukup lengkap di Bagian VI: Keputusan yang Mengejutkan. Di bagian ini, Kaligis mengisahkan, menjelang umur 60 tahun (2002), setelah melakukan perenungan yang mendalam dengan penyerahan diri kepada Tuhan, ia pun akhirnya mengambil keputusan yang mengejutkan dunia hukum, terutama para pengacara, yaitu berhenti dari kegiatan profesional sebagai pengacara.

Saya sudah memikirkan pengunduran diri sejak jauh hari, terutama setelah saya melihat banyak kawan sesama lawyer yang meninggal namun masih menyisakan perkara. Itu yang menyebabkan saya memikirkan regenerasi. Buat saya, sekalipun tidak lagi langsung membela perkara di persidangan, bukan berarti kita tidak bisa lagi mengabdi di bidang hukum. Pekerjaan litigasi ini membutuhkan totalitas tenaga, pikiran, dan kemampuan. Saya harus tahu diri, lebih baik diberikan kepada generasi penerus.Banyak orang yang jatuh karena tidak bisa mengatakan kepada dirinya, “Saya sudah cukup sampai di sini. Terima kasih Tuhan, atas segala yang Engkau berikan.

Di usianya yang saat itu mencapai 60 tahun, Kaligis merasa saatnya ia mengisi sisa umurnya dengan pengabdian kepada Tuhan. Selama menjadi pengacara ia merasa nyaris tak punya waktu untuk bekerja bagi Tuhan.

Tuhan sudah terlampau baik kepada saya sampai sekarang, Ia sudah memberikan saya usia hingga 60 tahun. Banyak banget itu. Kalau dihitung, hingga di usia itu, berapa persen yang saya gunakan untuk mengabdi kepada-Nya? Masih untung kalau ada satu persen. ….

Saat membaca bagian perenungan mendalam Kaligis yang membuatnya memutuskan untuk berhenti sebagai pengacara profesional itu, kita tentu akan mencoba meresapinya dan ikut merenungkan tentang makna kehidupan yang hakiki, yang terlepas dari kesuksesan duniawi yang penuh dengan godaan uang, harta, dan wanita. Hal yang sama mungkin juga diresapi oleh pengacara-pengacara lainnya yang membaca buku tersebut.

Namun, ternyata keputusan mundur dengan berbagai kalimat-kalimat religius dan puitis itu hanya bertahan 9 bulan. Dalam suatu rapat di kantor Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Kaligis berubah 180 derajat. Ia mengatakan, di sana ia didaulat untuk turun gunung lagi, aktif kembali sebagai pengacara. Akhirnya setelah dipikir masak-masak, tidak bisa ditolaknya.

Setelah turun gunung perkara besar pertama yang ditangani OCK adalah Aulia Pohan, besan SBY, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Artalyta Suryani, Bibit-Chandra, kasus Marcella Zalianty dan pembalab Ananda Mikola yang dituduh menganiaya pegawainya, Ariel dan Luna Maya, kasus Tommy Soeharto di Guersey, Swiss.

“Mereka mengatakan saya egoistis jika dalam kondisi yang masih punya kapasitas tidak mau membela orang-orang yang membutuhkan pembelaan dan membimbing para lawyer muda. Mereka menyebut saya konyol karena berhenti di saat kantor saya sedang laris-larisnya mengurus tumpukan perkara, yang persidangannya berlangsung di dalam dan di luar negeri.”

“Sungguh saya terharu mendengarnya sehingga saya merasa gugatan kawan-kawan di AAI adalahgugatan terhadap nurani saya, terhadap moral dan idealisme pro justitia saya. Jika saya tidak menjawabnya secara benar, nurani, moral dan idealisme saya akan terus-menerus menggugat sampai saya mati. Saya tidak ingin menjadi pesakitan di dalam sidang pengadilan terhadap diri saya sendiri. Artinya, gugatan itu hanya memerlukan satu jawaban: action! Saya harus ‘turun gunung’ lagi.Maka di dalam rapat itu juga saya membatalkan keputusan berhenti. Saya berjanji akan kembali menggebrak para mafia di rimba raya hukum negeri ini.”

Faktanya justru KPK menemukan OCK adalah bagian dari para mafia di rimba raya hukum negeri ini.

Kaligis di sini berkata atas nama nurani, moral dan idealismenya, ia pun memutuskan kembali aktif sebagai pengacara seperti sebelum pengundurannya itu. Pertanyaan, lalu nurani yang mana yang dipakai Kaligis saat menyatakan perenungan dirinya yang mendekati Tuhan dengan hatinya, lalu memutuskan untuk mundur dengan berbagai pesan-pesan religius sebagaianma tersebut di atas?

Berarti pula, Kaligis juga saat itu juga memutuskan batal untuk mengabdi kepada Tuhan di sisa usianya yang senja itu, sebagaimana ia sendiri katakan di atas: “Tuhan sudah terlampau baik kepada saya sampai sekarang, Ia sudah memberikan saya usia hingga 60 tahun. Banyak banget itu. Kalau dihitung, hingga di usia itu, berapa persen yang saya gunakan untuk mengabdi kepada-Nya? Masih untung kalau ada satu persen. ….

Rata-rata pengacara dipanggil Sang Pencipta di usia 65 tahun. Hitungan saya, kalau umur seorang pengacara rata-rata 65 tahun, secara matematika 60 tahun usia saya ini sama dengan telah melewati 92,3% dari hidup yang dianugerahkan Tuhan. Kalau yang sejumlah itu saja telah terlewati dengan begitu cepat sehingga tak terasa, bayangkan apa artinya sisa waktu yang tinggal 7,7% lagi?”

Nurani Kaligis kepada Tuhan dikalahkan “nurani” Kaligis terhadap pro justitia?  Suara panggilan Tuhan kepadanya dikalahkan suara panggilan rekan-rekannya sesama pengacara di AAI itu? Apalagi kemudian justru diduga membuatnya terssesat dalam perbuatan yang ia sendiri haramkan kepada para anak buahnya sebagaimana ditulis di buku biografinya itu. Di manakah Tuhan saat itu bagi Kaligis?

Apakah dengan keputusannya “mengingkari janjinya” dengan Tuhan yang sebelumnya sudah didekati sebagaimana kesaksiannya tersebut di atas, di usianya yang telah mencapai 73 tahun (lahir: 19 Juni 1942), Tuhan pun memberikannya suatu peringatan keras dalam wujud terjerambabnya ia dari puncak tertinggi kariernya sudah puluhan tahun dinikamtinya itu, ke lembah kehinaan seperti ini?

Di dalam sel tahanannya, kini, tentu O.C Kaligis kembali melakukan perenungan hidup baginya. Demikian juga kita harus bisa belajar dan memetik dan mengambil hikmah dari pesan-pesan Tuhan di balik kejadian yang menimpa O.C. Kaligis ini. ****

(Dian Ariyani, sumber: KOMPASIANA)